Akhir-akhir
ini, marak sekali terjadi penganiayaan yang dilakukan oleh seorang murid
terhadap gurunya sendiri. Sebuah fenomena yang sangat mencoreng dunia
pendidikan Indonesia. Guru yang seharusnya dihormati, ditaati, dan ditakdzimi,
tak jarang mendapatkan perlakuan yang kurang sopan dari muridnya sendiri.
Budaya takdzim guru yang diajarkan oleh para leluhur bangsa Indonesia di
sekolah kini sudah mulai luntur.
Ada kasus
Pak Budi, seorang guru honorer mata pelajaran Seni Rupa di Torjun Sampang Madura,
yang meninggal dunia karena ditempeleng kepalanya oleh muridnya sendiri, karena
mengingatkan sang murid supaya mau mengerjakan tugas. Ada kasus Pak Joko
Susilo, seorang guru Gambar Teknik Otomotif di Kaliwungu Kendal yang dikeroyok
dan dijadikan bahan tertawaan oleh murid-muridnya sendiri.
Ada kasus
Pak Nur Khalim, guru honorer matapelajaran IPS di Wringinanom Gresik yang
ditoyor kepalanya, diancam, ditarik kerah bajunya, dan dipegangi lehernya oleh
muridnya sendiri, lantaran menegur sang murid yang merokok di dalam kelas. Dan
yang baru-baru ini terjadi, kasus Pak Sujianto guru Teknik Otomotif di
Yogyakarta yang ditantang dan didorong-dorong tubuhnya oleh muridnya sendiri,
hanya karena menyita handphone sang murid karena akan ada ujian di dalam kelas.Tragedi
murid menganiaya guru yang saya tulis di atas adalah kejadian-kejadian yang
sudah viral di berbagai media, baik sosial maupun cetak. Kasus-kasus lain yang
tidak viral tentu sangatlah banyak, hanya saja tidak nampak, laksana bagian
tubuh gunung es yang jarang terlihat oleh khalayak. Akan tetapi, walaupun
kasus-kasus tersebut sudah sering terdengar, jangan kemudian menjadikannya
sebagai hal yang wajar. Sebab, tidak ada satu alasan pun yang membenarkan murid
untuk tidak hormat dan takdzim kepada guru.
Apalagi, seorang murid, menurut Sayyidina Ali
bin Abi Thalib, adalah hamba sahaya bagi guru, walaupun yang diajarkan hanya
satu huruf saja.Murid sudah tidak lagi hormat terhadap guru merupakan fenomena
yang sangat memprihatinkan bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Fenomena
ini menunjukkan adanya kemerosotan moral anak bangsa yang cukup
mengkhawatirkan. Murid sudah tidak hormat terhadap guru adalah sebuah
kedurhakaan dalam ranah tholabul ilmi. Lantas, bagaimana mungkin
hal ini bisa acap kali terjadi, sementara masyarakat Indonesia sangat terkenal
dengan budaya sopan santun dan tatakramanya?
Menurut saya, ada beberapa persoalan
yang menyebabkan budaya takdzim seorang murid terhadap guru mulai luntur di
sekolah.Pertama, hilangnya kesadaran moral (moral feeling)
murid untuk bersikap takdzim terhadap guru. Kasus-kasus aniaya ataupun bullying
yang dilakukan murid terhadap guru di atas, menunjukkan indikasi kuat atas
hilangnya kesadaran moral anak bangsa. Kesadaran moral (moral feeling),
berbeda dengan pengetahuan tentang moral (moral knowing). Jika
sekedar pengetahuan, maka semua murid pasti tahu, bahwa hormat terhadap guru
merupakan sebuah kewajiban. Akan tetapi soal kesadaran? Tidak semua memiliki
dan mau mengaplikasikan. Kesadaran moral bahwa unggah-ungguh,
sopan-santun dan andap-asor terhadap guru akan melahirkan
keberkahan ilmu bagi sang murid, sudah jarang-jarang ditemukan dalam diri
seorang murid di zaman sekarang. Sehingga hal ini bisa melahirkan perilaku
kurang santun seorang murid terhadap guru.
Untuk
mengatasi problem lemahnya kesadaran moral dalam diri murid, ada beberapa
tawaran solusi yang bisa dilakukan. Pertama, lakukan pendampingan
khusus terhadap murid-murid yang bermasalah dari sisi moral. Pendampingan ini
bisa dilakukan pihak sekolah, oleh guru bimbingan dan konseling atau wali
kelas. Pendampingan ini perlu dilakukan, supaya dapat diketahui faktor-faktor
penyebab terjadinya problem moral yang sedang mendera murid. Selain itu,
dengan adanya pendampingan secara khusus, murid yang sedang bermasalah dalam
hal moral akan merasa diperhatikan dan bisa diajak bicara dari hati ke hati.
Pada saat murid merasa mendapatkan perhatian khusus dari guru inilah waktu yang
tepat untuk memberikan pemahaman moral, sehingga ia memiliki kesadaran moral
yang tinggi (high moral feeling). Kedua, guru dan orang tua harus menjalin kerjasama untuk memberikan
contoh yang baik. Sebab, bagaimana pun, guru dan orang tua merupakan uswah atau
panutan, yang sedikit banyak akan ditiru perilakunya oleh seorang murid. Kedua, belum
terbentuknya budaya moral positif di sekolah. Kasus Pak Joko Susilo di
Kaliwungu Kendal, yang dikeroyok dan ditertawakan oleh murid-muridnya sendiri
adalah salah satu contoh belum terbentuknya budaya moral positif di sekolah.
Meskipun kejadian tersebut, menurut pengakuan para murid dan Pak Joko sendiri,
motifnya hanya bercanda, namun menunjukkan adanya tindakan yang sangat tidak
sopan terhadap guru, yang mencerminkan bahwa sekolah belum mampu membentuk
budaya moral yang baik di sekolah, dalam hal ini adalah budaya takdzim terhadap
guru.Untuk mengatasi persoalan tidak terbentuknya budaya positif di sekolah,
sekolah perlu menegakkan aturan dan tata tertib yang telah ditetapkan di
sekolah, utamanya tata tertib yang berkaitan dengan pembentukan karakter siswa.
Selain itu, sekolah perlu memberikan reward terhadap para guru dan murid
yang mampu menjadi teladan bagi terbentuknya budaya yang baik di sekolah,
sekaligus juga memberikan punishment terhadap para guru maupun
murid yang justru menciptakan budaya yang kurang baik di sekolah.
Jika
perlu, sekolah membuat pakta integritas yang ditandatangani oleh seluruh
masyarakat sekolah, yang memuat aturan tentang tata nilai yang telah
disepakati, supaya pelaksanaan pembentukan budaya yang baik di sekolah dapat
berjalan secara maksimal, karena telah didukung seluruh entitas sekolah. Ketiga, minimnya
kerjasama antara sekolah, orang tua dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan
moral. Sekolah, orang tua dan masyarakat, sering kali menjadi komponen yang
berdiri sendiri-sendiri, bukan menjadi satu kesatuan yang saling menguatkan
dalam pembentukan moral anak-anak. Terkadang, kasus yang terjadi, sekolah sudah
berusaha sekuat tenaga mendidik anak supaya memiliki moral yang baik.
Namun,
pendidikan moral di sekolah seketika luntur ketika sang murid bergaul dengan
teman-teman bermainnya di kampung. Terkadang, kasus yang terjadi sebaliknya.
Orang tua sudah berusaha mendidik moral anak sekuat tenaga, tetapi sang anak
justru berubah menjadi pribadi yang kurang baik karena terkena dampak
teman-temannya di sekolah.Untuk mengatasi problem ini, yang bisa menjadi
penjembatan antara sekolah, orang tua dan masyarakat adalah pihak sekolah.
Sekolah sebagai kawah candradimuka pembentukan karakter anak bangsa, memiliki
kewajiban untuk menjalin kerjasama yang baik dengan orang tua murid dan
masyarakat.
Kerjasama yang bisa diterapkan oleh
pihak sekolah untuk menjalin sinergitas dengan orang tua, antara lain dengan: Pertama, menjalin
komunikasi yang baik dengan cara membentuk komunitas moral yang anggotanya
berisi wali kelas, guru bimbingan dan konseling, dan wali murid. Komunitas ini
dapat berbasis kelas dan juga bisa dibuatkan grup Whatsapp supaya komunikasi
bisa intens, sehingga setiap persoalan moral dapat segera terselesaikan dengan
baik. Kedua, pihak sekolah membuat kartu kendali moral murid,
yang mana kartu ini selalu dibawa oleh orang tua, dengan tujuan untuk mengamati
dan mengawasi perilaku murid. Contoh, apabila sekolah ingin menerapkan bahwa
murid harus selalu shalat berjamaah ketika di rumah, maka di dalam kartu
kendali tersebut, terdapat poin shalat berjamaah yang bisa dicheklist hanya
oleh orang tua manakala anak melakukannya di rumah. Ketiga, untuk
membangun sinergitas yang produktif dan menyatukan visi-misi-tujuan, pihak
sekolah perlu memberikan edukasi kepada wali murid tentang bagaimana
cara mengasuh, mendidik dan membimbing anak supaya memiliki perilaku dan moral
yang baik, dengan mendatangkan tokoh-tokoh pendidikan yang sudah berpengalaman.
Diharapkan, dengan adanya bimbingan dan edukasi ini, wali murid menjadi lebih
pro aktif dalam mendukung program-program pembentukan karakter di sekolah.
Keempat, penguatan pendidikan karakter di
sekolah masih sebatas teori. Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan sudah sering menyerukan kegiatan PPK (Penguatan Pendidikan Karakter)
di sekolah. Akan tetapi, pelaksanaan di lapangan tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan. Pada kenyataannya, penerapan program penguatan pendidikan karakter
di sekolah, kebanyakan masih sebatas teori, atau masih berada pada ranah moral
knowing. Belum sampai pada ranah kesadaran bersama untuk menjalankan
nilai-nilai moral yang baik (moral feeling), apalagi ranah aplikasi
tindakan moral secara berjamaah (moral behavior).
Untuk
membentuk kesadaran moral (moral feeling) dan aplikasi nilai moral (moral
behavior) secara bersama-sama, dapat dilakukan beberapa langkah
berikut. Pertama, semua tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan membuat kesepakatan untuk menerapkan tata nilai moral yang sudah
disepakati di sekolah. Apabila melanggar, maka akan mendapatkan punishment. Apabila
mampu menjadi yang terbaik, maka akan diberikan reward. Guru-guru
inilah yang akan menjadi good model bagi para murid. Ketika para
guru sudah menjalankan nilai moral yang diterapkan di sekolah, maka untuk
mengajak para murid supaya mau melakukan tentu akan lebih mudah.
Kedua, semua guru ketika mengajar di dalam
kelas, sebelum masuk ke dalam kegiatan inti, selalu mengingatkan para murid akan
pentingnya nilai moral yang diterapkan di sekolah, sebagai upaya untuk
membentuk kesadaran moral dari para murid.
Ketiga, semua wali kelas mengajak anggota
kelas masing-masing untuk membuat kesepakatan dalam menjalankan nilai moral
yang telah ditetapkan di sekolah. Setelah disepakati, maka setiap wali kelas
harus memantau perkembangan moral para setiap murid, bisa menggunakan buku
kendali moral, dengan dibantu guru BK dan kesiswaan.
Keempat, luangkan waktu 10-15 menit untuk
melestarikan program pembentukan moral yang digalakkan di jam sekolah. Sebagai
contoh, bila sekolah ingin membentuk karakter peserta didiknya menjadi pribadi
yang peduli terhadap lingkungan, maka sebelum masuk kelas bisa diadakan kerja
bakti lingkungan yang dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat
sekolah. Contoh lain, jika sekolah ingin membentuk peserta didiknya menjadi
pribadi yang takdzim dengan guru, maka luangkan waktu sejenak sebelum masuk
kelas untuk menerapkan program Sungkem Masal dengan para guru,
untuk menumbuhkan kesadaran moral yang kuat sehingga setiap siswa memiliki rasa
takdzim yang tinggi terhadap guru.
Kelima, minimnya
teladan yang baik, baik dari orang tua maupun dari guru. Orang tua murid
merupakan contoh teladan kehidupan bagi mereka di rumah. Sedangkan guru
merupakan contoh teladan kehidupan bagi murid di sekolah. Kedua-duanya memiliki peranan yang
sangat penting dalam membentuk karakter dan moral seorang murid.
Persoalan
moral peserta didik yang sering terjadi di masyarakat, kebanyakan lahir karena
orang tua sebagai teladan di rumah atau pun guru sebagai teladan di sekolah,
belum mampu menjalankan peranan mereka secara optimal, sehingga anak pun akan
meniru perilaku orang tuanya atau gurunya. Anak-anak usia sekolah, cenderung
lebih mudah untuk meniru perilaku yang buruk, daripada meniru perilaku yang
baik. Semua orang tua dan guru tentu tidak ingin memberikan teladan yang
buruk kepada anak-anaknya. Hanya saja, terkadang tanpa disadari, orang tua atau
pun guru melakukan tindakan yang kurang terpuji, yang justru diamati oleh murid
dan kemudian langsung ditiru.
Jika orang tua dan guru melakukan tindakan yang kurang terpuji sekali saja, sementara seorang anak tahu akan hal itu, maka boleh jadi selain harga diri orang tua dan guru turun di mata murid, juga tindakan tersebut akan menjadi landasan bagi mereka untuk berbuat tidak baik. Secara ideal, jika kita sebagai guru dan orang tua, menginginkan anak-anak untuk menjadi baik, maka kita perlu memulainya dari diri kita sendiri.
Reference
- Menghormati Guru
Revision
- 23rd of September 2021
- 29th of January 2022