Dalam perjalanan hidup, kita tak jarang dihadapkan pada rasa cinta yang tak berbalas. Bukan karena cinta itu salah, tetapi karena takdir telah menuliskan jalan yang berbeda. Di saat seperti itu, hati diuji: apakah kita mampu mencintai tanpa memiliki, dan merelakan tanpa membenci?
Puisi ini lahir dari perenungan tentang cinta yang tulus namun harus dilepaskan. Ia bukan sekadar ungkapan rasa, tapi juga ajakan untuk memahami makna ikhlas dalam mencintai. Sebab dalam Islam, cinta bukan hanya soal perasaan, tapi juga soal adab, kesabaran, dan keimanan.
Allah berfirman:
> “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
> (QS. Al-Baqarah: 216)
Rasulullah ï·º juga bersabda:
> “Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi kunci kebaikan dan penutup keburukan. Dan di antara mereka ada yang menjadi kunci keburukan dan penutup kebaikan. Maka berbahagialah orang yang Allah jadikan sebagai kunci kebaikan melalui tangannya.”
> (HR. Ibnu Majah)
Semoga puisi ini menjadi pengingat bahwa cinta yang tidak berujung pada kepemilikan, bisa tetap menjadi ladang pahala—jika kita merelakannya dengan hati yang berserah kepada Allah. Karena cinta yang merelakan adalah cinta yang paling dekat dengan keikhlasan.
Cinta Yang Merelakan
Untuk Sahabat Khazanah
Aku pernah menyimpan harap,
pada seseorang yang kini telah berpaut,
bukan padaku, tapi pada takdir yang lain.
Dan aku belajar: cinta bukan soal memiliki,
tapi soal merelakan dengan ikhlas yang dalam.
Seperti Nabi Yusuf diuji dengan rindu,
seperti Zulaikha yang akhirnya berserah,
aku pun belajar mencintai dalam diam,
tanpa mengusik, tanpa menuntut,
karena cinta sejati adalah doa yang tak memaksa.
Aku titipkan rasa ini pada langit,
biar ia menjadi saksi keikhlasan,
biar ia menjadi jalan menuju ridha-Nya.
Sebab cinta yang tak terbalas di dunia,
bisa jadi pahala di akhirat,
jika kita sabar dan tetap menjaga hati.
Don't spam here